Bunyi pintu mobil ditutup. Mesin dinyalakan, menderu-deru, lampu terang menyorot dinding garasi. Aku duduk manis di kursi depan, sementara Kak Xiao memundurkan tuas gigi untuk mengeluarkan mobil. Setelah itu, Kak Xiao turun sebentar untuk menutup garasi dan pintu gerbang. Pintu mobil kembali ditutup, seat belt dikencangkan, dan kami melenggang pergi — menerobos jalanan menjelang tengah malam. Hening. Suasana di antara kami masih senyap-senyap saja sampai akhirnya kami keluar dari area perumahan.
“Ini beneran kita mau nyari seblak?” masih dengan tangan di kemudi, Kak Xiao membuka percakapan. “Daerah mana yang outlet seblaknya masih buka?”
Pelan, aku menggeleng. “Nggak, deh, Kak. Aku sebenernya nggak pengen makan seblak,” sanggahku jujur. “Kita muter-muter aja, yuk? Aku sebenernya sumpek banget kelamaan di rumah. Bukan berarti rumahnya Kak Xiao nggak nyaman, lho, ya. Aku cuma nggak suka kelamaan diem aja.”
Ada suara kekehan ringan sebelum kalimat selanjutnya terdengar. “Tahu, kok.”
Duh, gawat. Dua kata itu sukses membuatku menyemai senyum tipis. Senyum yang, kalian tahu, agak ditarik sedikit sampai ujung satu lebih tinggi dari yang satunya. Senyum yang diselingi pandangan mata yang teralihkan dari objek pengamatan sebelumnya. Senyum yang itu. Senyum yang disertai debar tidak wajar dari dalam lubuk hati paling dasar.
Dari mana dia bisa menarik kesimpulan seperti itu?
“Bisa aja,” desisku kesenangan.
Dan perjalanan kami dimulai dari sudut terpencil kota — museum pahlawan yang tutup, patung kembar dengan tombak panjang diusung, dan bundaran air mancur. Hanya satu-dua kendaraan yang lewat sejauh aku mengamati.
“Nanti kalau Kak Xiao gugur di misi, bakal masuk museum juga? Jadi pahlawan?” aku tahu ini pertanyaan bego, tapi aku kehabisan topik untuk dibicarakan.
“Nggak,” jawabnya singkat. “Aku hidup dalam bayangan. Ada, tapi nggak ada; hidup sembunyi, mati disembunyikan. Pervases kemarin dimakamkan di makam keluarga besarnya, bukan taman makam pahlawan. Kematiannya nggak diangkat media. Aku? Mungkin dibuang ke hutan. Atau ditenggelamkan. Yang mana yang menguntungkan buat keselamatan tim aja.”
Aku meneguk ludah mendengar jawabannya. “Maaf udah tanya begitu.”
“Kamu berhak buat tahu,” intonasi suaranya tetap tenang, seolah-olah pertanyaanku bukan masalah besar. Tetap saja, aku jadi sangsi mau membuka obrolan lagi karena suasananya jadi nggak enak.
“Tenang, aku nggak berencana mati dalam waktu dekat,” sambungnya kala melihatku memasang wajah pias. “Masih banyak hal yang mau aku selesaikan di luar kerjaanku.”
Dan perjalanan kami berlanjut. Melewati kedai Wanmin yang terletak di pusat kota — di jam makan siang akan selalu ramai dan penuh antrian, melewati pusat perbelanjaan, dan titik-titik keramaian. Biasanya area-area tersebut akan penuh sesak pada saat liburan atau akhir pekan; melewatinya dengan leluasa ternyata terasa sangat berbeda. Dan tentu, aku tidak buka suara.
Satu jam kemudian, setelah aku merasa lebih baik untuk bicara, aku memberanikan diri untuk angkat suara.
“Kak,”
“Hmm?”
“Aku boleh tanya lagi?”
“Asal kamu nggak nanya persamaan Hitler sama Soeharto, silahkan.”
Sumpah. Aku tertawa lepas sampai nyeri kembali timbul di lengan kananku, berdenyut-denyut. Aku meringis. Entah yang mana yang membuat aku begitu; apakah menahan sakit, atau menahan tawa, aku sendiri tidak tahu pasti. Siapa yang kira Kak Xiao yang selalu memasang wajah datar bisa melucu juga? Ah. Entahlah. Yang jelas, aku melihat Kak Xiao ikut menyemai seulas senyum tipis dari sudut mataku. Ingatkan aku untuk berterima kasih kepada Azdaha yang sudah membiarkanku berkendara berdua seperti ini. Intervensi atas Royal Canin, dibatalkan.
“Aku gak tahu kalau Kak Xiao bisa ngelawak.”
Sepasang iris ambarnya tetap fokus pada jalanan kala menjawab. “Memang enggak bisa. Yang barusan itu kalimat yang sering dipakai Heizou kalau lagi males nanggepin.”
Lagi-lagi aku tertawa. Sudah lama sekali aku tidak tertawa selepas ini. Tertawa seperti, tidak ada lagi pasak-pasak yang mengungkungku untuk urung bertindak. Tidak ada lagi topeng-topeng yang perlu kukenakan setiap kali aku bertemu dengan orang baru.
Ah, Kak Xiao, andai kamu tahu.
“Kenapa ketawa? Aku nggak sedang ngelucu.”
Aku menggeleng ke arahnya. Menghabiskan sisa-sisa tawa. “Nggak papa, buatku itu lucu.”
Saat kulihat kak Xiao menyemai senyum kecil; dan saat itu pula hati kecilku menjerit. Andai kamu tahu, Kak Xiao. Aku selalu merasa bahwa kamu-lah orangnya.
Dia orang-nya.
Bersamanya, aku bisa merentangkan tangan lebar-lebar; menariknya dari jeratan hal-hal kelam, memutar kembali kaset imajiner berisi nasehat-nasehat kakek, memeluk erat dirinya hingga tidak ada lagi pertanyaan “Seharusnya aku begini, bukan?”. Tidak ada lagi. Aku bisa menjadi seutuh-utuhnya manusia, menjadikannya manusia yang dimanusiakan pula.
Aku merasa tidak ada lagi yang kurang.
Rasanya lengkap. Seperti kepingan terakhir dari puzzle jigsaw; tanpa satu keping pun bukan masalah besar karena gambarnya sudah nampak jelas, terlihat, tervisualisasi dengan baik. Orang-orang tidak akan sadar sekeping rangkaian dari sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya. Mungkin sekeping itu hanya tepian yang coraknya polos, tidak berefek pada gambar keseluruhan. Mungkin sekeping itu tidak memberi dampak signifikan.
Tapi, dengan si keping terakhir, maka seluruh rangkaian itu utuh. Sempurna. Lengkap, tanpa kurang suatu apapun. Keping itu bagi sebagian besar orang mungkin kurang penting, tapi bagi orang-orang yang membutuhkannya, harganya tidak terkira.
Ini gawat. Betulan gawat. Euforia sesaatku tiba-tiba redup, tergantikan sesuatu yang gelapnya menggerayangi sudut-sudut hati. Jantungku semakin berpacu cepat. Pertanyaan yang sedari awal ingin aku tanyakan tiba-tiba mampet di tengah jalan. Aku takut. Aku takut rencanaku mengutarakan semuanya berakhir naas. Aku takut kalau…
Tidak, kurasa takut bukan sebuah kata yang pas.
Aku khawatir.
Bagaimana jika ternyata hanya aku yang merasakan perasaan lengkap itu? Bagaimana jika perasaan yang kulabeli sebagai ‘suka’ itu hanya berpihak padaku? Bagaimana jika aku hanya dianggap tukang ceramah, tukang khotbah pecicilan yang kepepet jatuh cinta? Bagaimana kalau aku ternyata cuma orang bodoh yang eksistensinya tidak berimplikasi pada kehidupannya? Bagaimana kalau citra-citra tentang romansa hanya proyeksi dari keinginan sepihakku? Demi apapun, aku tidak ingin membebaninya dengan ekspetasiku tentang hal-hal rancu.
Tapi, bukankah semuanya butuh kepastian?
“Jadi tanya, nggak?” lampu merah di depan sana menyala terang. Aku bisa merasakan Kak Xiao menginjak pedal rem, perlahan, sampai mobil benar-benar berhenti. Senyap sejenak. Aku menatap ke luar jendela. Sejauh mata memandang, mobil yang kami tumpangi adalah satu-satunya kendaraan yang ada.
Sepi. Iyalah, siapa juga yang edan keluar hampir tengah malam cuma gara-gara alasan kepingin seblak tapi ujung-ujungnya nggak jadi beli?
Aku.
Dan Kak Xiao yang sukarela mengantar lebih edan lagi.
“Jadi,” jawabku singkat.
Kak Xiao melepas genggaman dari kemudi, merebahkan punggungnya pada sandaran jok. Angka yang dihitung mundur di depan sana masih dikepalai delapan — lebih dari satu menit — waktu yang cukup untuk sebuah dialog basa-basi. “Silahkan. Mau tanya apa?”
Hening sebentar. Aku tiba-tiba kepikiran, kenapa Kak Xiao berhenti di lampu merah padahal tidak ada kendaraan lain yang datang dari persimpangan? Terobos saja juga pasti selamat. Eh, bukan berarti aku suka melanggar lampu merah lho, ya. Momen-momen seperti itu betulan kondisional. Bukan asal terobos, nanti malah kecelakaan — duh, nggak lagi-lagi deh aku berurusan dengan orang ugal-ugalan.
Lalu aku kepikiran — eh, kenapa ya, di momen-momen seperti ini, seolah-olah serdadu kecil di dalam kepala malah aktif-aktifnya berceloteh — mungkin saja ada kaitannya dengan Kak Xiao yang tidak mau lagi kehilangan. Defensif. Preventif, lebih baik berhenti sebentar ketimbang asal jalan dan berujung penyesalan. Mungkin juga, Kak Xiao ingin memberikan momen yang lebih baik untuk bicara; supaya fokusnya bisa tertuju sempurna pada pembicaraan, bukan terbagi dua dengan aktivitas mengemudinya.
Kalau memang begitu, maka ini momennya. Ini kesempatan emasnya. Di tengah senyap yang menyergap, aku menarik napas. Membulatkan tekad. Mengundang adrenalin untuk tumpah ruah, mengantarkan keberanian untuk mengatakan kalimat-kalimat yang sudah ada di ujung lidah. Aku pasti bisa. Semuanya harus jelas saat ini juga.
Ditengah heningnya malam itu, disaksikan deretan lampu jalan, aku bertanya padanya.
“Kita ini apa, Kak?”
Lima detik berlalu, belum ada jawaban. Aku yang semula memandang lurus ke luar jendela kali ini menoleh padanya. Menemukan dirinya termenung menatap ke depan. Sorot matanya kosong, seakan-akan disedot habis oleh sesuatu yang bergelayut di pikirannya. Aku berusaha berpikir positif; barangkali dia hanya sedang merangkai kata-kata. Mengingat Kak Xiao adalah orang yang cukup rasional, aku percaya dia ingin memberikan jawaban terbaik yang Ia bisa. Aku menunggu. Satu kedipan mata. Dua kali, bahkan di kedipan ketiga, dirinya masih sama saja. Diam seribu bahasa.
“Kak?” aku kembali buka suara, “Kalau nggak mau dijawab sekarang juga nggak pa — ”
“Kamu maunya kita ini apa?” sekarang, ia menoleh padaku dan mata kami bertemu. Sorotnya teduh, alisnya terangkat sedikit; memberi atensi. “Aku tahu arah pembicaraan ini ke mana. Cuma ingin memastikan kamu berharap apa.”
Aku menaikkan sebelah alis. “Kenapa malah tanya ekspektasiku apa? Aku cuma ingin tahu dari sudut pandang Kak Xiao tentang kita, nggak lebih.”
Dirinya tidak menjawab. Membiarkanku mengelaborasi lebih jauh maksud ucapanku.
Sebuah tarikan napas berat mengantarkanku melanjutkan percakapan lebih jauh. “Sebelum kita resmi kenalan hampir satu tahun lalu, kita udah pernah ketemu. Kak Xiao waktu itu masih SMP, aku masih SD. Kak Xiao mungkin enggak ingat. Tapi waktu itu, Kak Xiao ngebantu aku ngusir tukang bully.”
“Gak lama setelahnya, Kakek meninggal. Aku ketemu Om Zhongli, aku dikenalin sama Kak Xiao via foto. Aku langsung tahu, kalau orang yang ada di foto itu adalah orang yang pernah nolong aku. Dan, waktu itu, aku serasa lagi ketemu ujung satunya dari ‘benang merah’ punyaku. Gak tahu kenapa, aku yakin kalau aku akan ketemu orang dalam foto itu lagi di masa yang akan datang. Aku merasa kalau orang itu akan punya andil besar.”
“Dan kita ketemu juga. Lewat perantara tangan-tangan tak kasat mata,” aku memberi jeda sejenak. “Siapa yang tahu kalau aku akan diajak Om Zhongli ke bandara? Padahal aku harus ngurus dokumen. Aku harusnya nggak ke bandara, tapi aku dipaksa. Akhirnya, kita resmi kenalan. Dan waktu itu, aku merasa kalau… Kak Xiao memang betul-betul… orangnya.”
Tatapannya masih tidak terdefinisikan ketika aku bicara. Di kalimat terakhir ini, aku memberanikan diri untuk menatap matanya dalam-dalam. “Intinya, aku sudah suka sama Kak Xiao sejak lama.”
Mungkin ekspresinya tidak ketara, tapi aku menangkap sedikit keterkejutan dalam sorot matanya. “K-kamu, apa?”
“Aku suka sama Kak Xiao sejak lama,” ulangku. “Kurang jelas?”
Ia menggeleng. “Nggak. Jelas, kok.” Samar-samar, aku bisa melihat sebersit rona kemerahan menjalar di daun telinganya. “Aku tahu kamu punya perasaan itu. Tapi, kenapa?”
“Kenapa, ya…” aku menghempaskan punggung di jok, melipat tangan di depan dada, membuang pandangan ke depan dan memejamkan mata. “Aku juga nggak tahu kenapa. Boom, jadi gitu aja.”
Kak Xiao masih memandangiku lamat-lamat.
“Apa aku suka kamu karena kamu ganteng? Mungkin, tapi aku lebih suka kamu ketimbang Lee Dong Wook yang dibilang Xiangling aktor paling ganteng. Apa aku suka kamu karena kamu kerja jadi tentara rahasia yang sering dipuja tante-tante di keluarga besar? Nggak juga. Kalau mau ngomong realistis, mending aku nikah sama duda kaya raya yang punya perusahaan multinasional biar Wangsheng bisa tetep eksis kalau lagi krisis. Tapi enggak, aku tetap suka kamu.”
“Apa aku suka kamu karena kamu baik hati? Mungkin, tapi kita baru resmi kenalan satu tahun belakangan ini. Sebelum-sebelumnya, aku nggak tahu kamu kayak gimana. Dan aku tetap suka kamu. Apa aku suka kamu karena kamu anaknya rekan kerja Kakek? Nggak. Aku suka kamu sebelum Om Zhongli ngenalin kamu ke aku. Apa aku suka kamu karena kamu kuat? Nggak juga, buktinya kemarin aku peluk kamu waktu lagi butuh, dan it’s okay anyway. Aku tetep suka kamu, Kak Xiao.”
Hening lama sekali. Sekilas melirik, angka di depan sana sudah dikepalai tiga. Aku kembali memperhatikan laki-laki itu, kali ini telapak tangannya diletakkan persis di depan wajah. Entah ekspresi apa yang disembunyikannya di sana.
“Kayaknya contoh yang terakhir itu… agak… nggak perlu,” saat bisikan itu kudengar, aku bisa mengintip Kak Xiao meringis sangsi sebelum mengusap tangannya ke atas hingga poninya terburai berantakan.
“Perlu, dong. Biar Kak Xiao tahu kalau aku nggak main-main sukanya,” aku menjulurkan tangan kanan, berusaha meraih telapak tangan kirinya. “Makanya, aku tanya, kita ini apa? Aku nggak mau membebani Kak Xiao dengan intervensiku, ucapan-ucapanku, tindakan-tindakan anehku di masa yang akan datang karena aku suka — bukan, aku cinta Kak Xiao. Aku nggak mau jadi orang nggak tahu diri dengan melakukan hal yang nggak-nggak diluar konsenmu. I’ll set the boundaries if it’s necessary.”
Matanya bersirobok denganku sekali lagi. Kutautkan telapak tanganku dengan miliknya, merasakan buku-buku jemarinya yang menonjol karena posturnya yang kurus. “Tapi, kalau boleh egois sedikit, kenapa malam itu Kak Xiao bilang nggak mau kehilangan aku? Memangnya aku siapa? Memangnya, seberapa pantas aku bersanding dengan keluarganya Kak Xiao yang udah nggak ada?”
Sungguh, menatap matanya membuat aku kepingin menangis. Kalau dilihat sekarang, bisa jadi mataku sudah dilapisi selaput bening yang siap jatuh kapan saja. Aku takut jawaban yang akan kuterima nantinya tidak berada di sisi yang sama denganku. Aku takut jika nanti hatiku berdenyut nyeri, jauh lebih nyeri ketimbang pen sambungan tulang yang perlu diambil dua bulan lagi. Aku takut.
Aku takut.
Tapi bagaimanapun juga, hati kecilku tahu. Aku tidak bisa memaksanya untuk memihak lebih jauh. Kak Xiao adalah Kak Xiao; keputusan mana pun yang akan diambilnya nanti, aku akan menghargainya. Aku akan merelakannya dengan legawa, melepasnya melangkah lebih jauh ke jalan yang lebih bercahaya. Barangkali, tugasku memang hanya menariknya dari kekangan rantai, mencabut pasak-pasak, membuka kunci kerangkeng yang mengukungnya untuk berekspresi bebas. Cukup sampai di situ. Sisanya, bukan lagi kewenanganku.
Barangkali pula, kepingan terakhir puzzle jigsaw-ku bukan seorang Alatus Xiao.
“Jadi, aku tanya sekali lagi, Kak,” kuremas lembut genggaman tanganku, menuntut kepastian. “Kita ini apa?”
Lama sekali hening di antara kami. Lima, enam detik matanya bertatapan dengan mataku, masih tidak kutemukan juga sebersit petunjuk dari jawaban yang akan dilontarkannya. Aku masih harap-harap cemas, degup tidak beraturan berdentum jauh di bawah rusuk kiriku. Aku menatapnya. Lekat-lekat, lamat-lamat; menanti kalimat apa yang akan dilontarkannya.
Tiga,
Dua…
… Dan lampu di depan sana berubah warna.
Waktu habis. Dirinya belum angkat suara juga.
“Lampunya sudah hijau,” laki-laki itu melepas genggaman tanganku, kembali memfokuskan diri pada gagang kemudi. “Nanti aku jawab pertanyaanmu. Sekarang, mau ke mana kita?”
Pupus sudah harapanku.
Aku membuang muka. “Terserah. Pulang juga nggak apa-apa.”
“Lho, katanya sumpek di rumah?” mobil yang kami tumpangi kembali melaju, Kak Xiao bahkan tidak menatapku kala melontarkan tanya. “Beneran nggak mau muter-muter lagi?”
Aku hanya menggeleng. Kak Xiao menghela napas panjang, kemudian membelokkan kemudi di persimpangan. “Oke,” gumamnya singkat.
Sepanjang perjalanan selanjutnya, aku memilih diam. Melempar pandangan ke luar jendela, bertopang dagu. Aku tahu bahwa Kak Xiao bukan tipikal orang yang suka mengajak bicara, probabilitas dia bakal membuka percakapan adalah hal yang nyaris mustahil. Dan perhitunganku benar saja, Ia tidak mengucapkan barang sepatah kata.
Tidak apa-apa. Lebih baik begini. Aku tidak mau menjawab sesuatu dengan suara sesegukan; cukup aku, Tuhan, dan deretan lampu jalanan yang menjadi saksi bahwa bulir-bulir bening terus turun menggerayangi pipiku. Jatuh melalui dagu dan membasahi kardigan yang kugunakan.
Aku tahu. Hati kecilku tahu. Semua orang tahu bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang untuk berpihak pada kita; cara-cara negosiasi, persuasi atau apapun itu hanya media perantara. Keputusan final adalah kewenangan pihak kedua. Posisiku bukan hakim atau jaksa. Bukan juga pengacara. Seharusnya, urusan Kak Xiao sebagai pihak kedua cukup jadi urusan Kak Xiao saja. Semestinya aku tahu itu sejak awal. Semestinya aku mengerti.
Tapi, Tuhan, rasanya sakit sekali.
Aku memejamkan mata. Membiarkan setetes bulir lagi lolos dari pelupuk. Di saat-saat begini, aku malah sibuk menyumpah-nyumpahi jalanan. Perasaan waktu berangkat tadi tidak lama-lama amat, sekarang sudah hampir lewat setengah jam — dalam prakiraanku — dan rumah Om Zhongli masih belum kelihatan juga tanda-tandanya. Aku sudah kepingin ambruk ke kasur dan membenamkan kepala di bantal sambil menangis kuat-kuat. Nanti, aku akan minta maaf kepada mendiang Kak Ona karena sudah meminjam kamarnya untuk menangisi si adik bungsu sampai sesegukan brutal. Adikmu itu memang agak kurang ajar, Kak.
Ah, sialan. Aku malah mengantuk. Aku pernah baca kalau rasa kantuk setelah tangis adalah berkah; tidur memberikanmu energi untuk menantang masalah dengan pundak lebih tegar. Tapi tolong, dong. Momennya sedang tidak pas. Kalau aku tertidur sekarang, nanti Kak Xiao akan melihat aku ileran sambil bersandar pada jendela setibanya di rumah. Ketika dibangunkan, aku akan memasang muka cengo untuk satu menit ke depan; mensinkronisasi jiwa dan raga, meraup kesadaran yang ada di ambang nyata dan fana. Dilihat Yaoyao, sih, bukan masalah. Aku dan dia sudah jadi bestie. Kalau Kak Xiao…
Dih, ogah.
Makin rusak saja nanti citraku di hadapannya.
Tapi aku benar-benar ngantuk sekarang. Sekuat apa pun aku berusaha membuka mata, kelopaknya selalu turun lagi seperti ada pemberat yang menahannya. Kalau aku mengalah pada kantuk, apa ketika sampai nanti aku akan dibangunkan? Apa Kak Xiao akan memandangku sangsi ketika tahu aku kadang-kadang ileran? Ah… bodo amat. Untuk sekarang aku cuma ingin tidur, lebur bersama tangis yang berlayar jauh di pulau kapuk.
Selanjutnya, aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Biar apa yang terjadi nanti tetap jadi kejutan saja.
“Tao, bangun. Kita sudah sampai.”
Tepukan berkali-kali pada punggung tanganku membuat aku sayup-sayup membuka mata. Mataku memicing, perlahan terbuka, menyadari bahwa di luar sana masih gelap gulita. Aku berpikir sebentar tentang apa yang sedang terjadi. Lalu aku ingat; aku barusan confess, di-ghosting, berujung ketiduran di mobilnya Kak Xiao. Sialan. Ketika aku menggeliat untuk menoleh ke samping, aku menemukannya sedang melepas seat belt.
“Ayo turun.”
Bunyi pintu mobil dibuka. Laki-laki itu keluar dari sisi pengemudi, sementara aku masih ogah-ogahan bangun. Sudah kubilang sebelumnya, kan? Aku butuh waktu untuk menyesuaikan realita dengan imajinasi. Kupejamkan mataku untuk sesaat, membiarkan serdadu kecil dalam kepalaku bekerja untuk merangkai kesadaran.
Dan begitu aku tersadar, aku terduduk spontan.
Ini bukan rumah Om Zhongli. Sejauh apapun aku mengedarkan pandangan, yang kulihat cuma rimbunnya pepohonan yang terlihat seperti batang gosong karena tidak dapat cahaya. Tanah lapang dan daun-daun gugur. Tidak terlihat rumah warga dalam radius pengamatanku. Jantungku berpacu cepat, otakku langsung berpikir yang tidak-tidak. Apa aku diculik? Apa aku jadi tumbal transaksi dark web? Waduh, masa Kak Xiao tega menjualku setelah aku mengutarakan perasaanku? Jangan-jangan, ini juga jadi bagian dari pekerjaannya? Aku ditukar dengan seperangkat peranti penting dari sindikat mafia sebagai umpan misi… Tapi kan, aku bukan tersangka!
Ketika aku masih sibuk bergelut dengan pikiran negatif, dua kali ketukan pada jendela mobil sukses membuatku berjengit. Kulihat samar-samar wajah Kak Xiao yang tengah menghela napas tidak sabaran. “Ayo turun, nanti kamu ketinggalan sunrise.”
Aku ragu-ragu membuka pintu mobil dan menapakkan kaki ke luar. Jalan setapak berkerikil lekas menyambut alas sandal yang kupakai. Mobil Kak Xiao diparkir di pinggir jalan, segera kudengar dua kali alarm tanda mobil terkunci begitu aku menutup pintu. Kuhampiri dirinya yang sedang menyarungkan kunci pada saku.
“Kita di mana?” aku membuka percakapan.
“Luhua Pool,” jawabnya. “Kamu bilang sumpek di rumah. Tapi waktu keluar bilangnya terserah, ya aku ajak aja ke sini.”
Mataku sempurna membulat. “Gila, ya? Lima jam perjalanan lho dari rumahnya Om Zhongli?!”
“Tahu, kok. Aku pengen ke sini juga, tenang aja.” Ia melangkah menyusuri jalan setapak, aku lekas menyamakan langkahku dengannya supaya tidak tertinggal. “Sekalian kita bicara. Kalau cuma sebentar kayak tadi, nggak enak.”
Aku tertegun. Ternyata, dia serius ingin menjawabnya.
Semilir angin subuh menerpa wajahku. Agak lebih sejuk ketimbang yang biasanya kurasakan — mungkin efek daerah pegunungan memang sebegini signifikan terhadap perubahan suhu.
Kak Xiao ternyata menyadari perubahan mimik mukaku. “Dingin?”
“Iya,” kataku sambil terkekeh ringan, “Tapi nggak papa, udah biasa.”
“Di mobil ada jaket cadanganku kalau kamu mau pakai, mau aku ambilin?”
Aku menggeleng. “Nggak usah. Thanks for the offers, tho.”
Setelah beberapa lama berjalan, kami tiba di sebuah turunan landai; aku samar-samar bisa melihat Luhua Pool berkilau cantik di bawah sana. Cahaya bulan hampir sirna memantul elok di tepian airnya, undakan-undakan kecil di sisi danau yang terbentuk alami seperti terasering begitu apik dengan bunga lotus yang tumbuh subur. Aku tercenung menatapnya. Aku pernah sekali datang ke sini, saat darmawisata SMP, dan saat itu penuh sesak dengan pengunjung. Aku jadi tidak bisa melihat kecantikannya dengan leluasa.
Tapi, sekarang… Betul-betul cantik, meski matahari belum sempurna hilalnya.
“Akses ke danaunya belum dibuka. Booth tiketnya buka jam delapan,” Kak Xiao melangkah ke arah reruntuhan di sekitar turunan, mencari tempat duduk. “Sini.”
Aku melangkah hati-hati, mencari pijakan yang aman, kemudian duduk di sebelahnya. Lengan kami bersinggungan, menghalau dingin yang terus terusan mampir. Aku menatap lurus-lurus ke arah danau. Untuk saat ini, aku tidak berani menatapnya lebih dulu.
Hening. Setelah di-ghosting, aku jadi sungkan untuk memulai pembicaraan. Angin berhembus pelan, menyibak rambutnya dan rambutku yang berkibar ringan; memaksaku merapatkan kardigan. Mataku masih menatap lurus. Membiarkan senyap menggerogoti waktu yang terus berjalan.
“Sebelum Ibu meninggal, kami sekeluarga berencana pergi liburan. Salah satu destinasinya ke Luhua Pool.” Kak Xiao tiba-tiba membuka percakapan, menautkan jemarinya satu sama lain. “Tapi Tuhan berencana lain. Ibu dan Kakak-Kakak ditabrak orang ugal-ugalan. Setelah insiden itu, usaha Bapak turun drastis dan akhirnya ketemu Kakek Hu. Aku jadi agak sangsi sama yang namanya jalan-jalan sejak saat itu, termasuk ke Luhua Pool.”
Aku memberanikan diri untuk menoleh, menatapnya yang memandang lurus ke arah danau. Rambutnya kembali tersibak angin.
“But, here you are. Kamu — kita di Luhua Pool, dan aku yang ngajak,” jantungku rasanya absen berdetak untuk satu detik ketika dirinya menjeda, “Entah kenapa, hal pertama yang aku pikir waktu kamu bilang terserah mau diajak ke mana itu Luhua Pool. Aku gak tahu kenapa, tapi asumsiku adalah karena I want to share something — no, I want to share everything precious to me with you. Kalau kamu masih tanya, ‘apa artimu untuk aku’; I’ll give you one word. Kamu segalanya.”
Bibirku terbuka sedikit. Seorang Alatus Xiao bicara lebih dari satu kalimat dan bukan aku yang menginisiasi saja sudah cukup untuk menyeret semua ketakjubanku; dan lagi, kalimatnya barusan yang tertuju padaku…
aku… kehabisan kata-kata.
“Kedengarannya cheesy banget, ya? Maaf. Aku nggak biasa ngomong begini,” sambungnya. “Tapi kamu memang begitu. Sejak pertama kali ketemu sama kamu yang sukanya chat cuma buat tanya, ‘mau dibawain apa pas mampir?’, aku sudah menghargai usahamu untuk selalu ada dan perhatian buat orang-orang yang ada di sekitarmu.”
Aku hanya bisa melongo sambil mendengarkannya bicara. Darahku berdesir cepat, jantung ditabuh bak genderang perang di dalam sana.
“Di sini,” laki-laki itu menunjuk dada kirinya, “ada banyak beban. Beban moral, beban tanggung jawab… Aku seringkali kewalahan dengan itu. Dan kamu, Hu Tao, kehadiranmu makin kesini makin ngebantu aku untuk berdamai dengan beban-beban itu.”
“Eh…” aku mendadak gagap untuk bicara, “A-aku?”
“Iya, kamu. Kamu yang ngajak nonton tiba-tiba, kamu yang suka spam chat pakai stiker aneh bin ajaib, kamu yang malam-malam ngintip aku di kamar Bang Osa; kamu yang itu. Kamu segalanya.” sambungnya. “Makasih, Hu Tao.”
Kalian tidak tahu seberapa aku ingin merutuki rapuhnya emosiku sekarang. Ujung jemariku bergetar. Selaput bening kembali menyelimuti bola mataku. “Kak…”
“And if you asked, ‘what are we?’,” Sepasang manik ambar itu bertemu denganku, dan dirinya tersenyum tulus. Senyum yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Senyum yang, seolah-olah menyatakan bahwa dirinya bebas. Aku menatapnya lamat-lamat dengan mata berkaca-kaca. Kumohon, jangan hempaskan setelah kau lambungkan aku ke angkasa.
Senyum itu rupanya adalah sinyal positif.
“Kita dua orang yang saling jatuh cinta.”
Dan saat itu juga tangisku pecah. Kalau ada orang lain selain kami berdua, sudah pasti mereka akan melempar tatapan sinis ke arahku. Tapi Kak Xiao tidak. Ia justru membawaku ke dalam dekapannya, memelukku erat-erat, menepuk punggungku untuk menyalurkan rasa tenang. “Cup, cup.”
Hari ini, aku sadar.
Aku sungguh bodoh untuk urusan cinta.
“A-aku, Aku pikir… Huaaaaaaa…”
“Cup, cup… aku di sini.”
“Aku pikir Kak S-sho, H-habisnya…”
“Maaf udah bikin kamu kepikiran banyak hal yang nggak perlu.”
“A-aku… Aku — ”
“Iya, Tao…”
Aku betul-betul tidak bisa merangkai kata. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku balas mendekapnya erat-erat, menumpahkan seluruh perasaanku yang terpendam padanya, membabat habis tangis hingga sesegukan. Kak Xiao ada di sini, memelukku seperti halnya aku kemarin; menunggu, menemani. Eloknya lagi, matahari baru saja terbit dengan semburat keemasannya dari balik bukit.
Cantik.
Cantik sekali.
“Aku ingat kamu bilang kalau mau bantu aku untuk nggak sendirian terus,” Ia kian membenamkan wajahnya pada ceruk leherku, “Thank you. Tapi, tolong biarkan aku berdamai dengan diriku sendiri sebelum melangkah lebih jauh sama kamu. Aku nggak mau terus-terusan bergantung — bukan berarti kamu seseorang yang nggak pantas untuk itu — tapi, aku ingin kita berdua sama-sama selesai dengan diri kita sendiri before You and I become Us. Kamu sudah berhasil melalui fase itu, sekarang giliranku.”
Pelukan dilepas. Sepasang iris keemasannya menatapku penuh keyakinan. “Tunggu aku sebentar lagi, ya?”
Sudah tidak terhitung berapa tetes air yang jatuh ke pipiku. Kali ini bukan karena sendu, atau sakit hati, atau apalah itu — kali ini, aku bahagia. “Whenever you’re ready.”
Kalian harus tahu kalau Luhua Pool yang disiram cahaya matahari terbit sungguh cantik menemani momen kebersamaan kami. Kak Xiao mengusap bekas air mataku dengan ibu jari, berbisik, “katanya kalau kebanyakan nangis nanti cantiknya luntur,” lantas mendapat tinju gratis dariku di lengannya. Kemudian aku tertawa lepas, bersamanya yang tersenyum lembut; senyum elok yang akan selalu aku nanti kehadirannya.
Ah, Kakek, apa ini yang dirimu maksud sebagai memberi-diberi, hidup melengkapi? Apa ini yang dimaksud dengan hubungan timbal balik?
Aku mungkin belum paham seutuhnya, tapi, aku akan selalu berusaha mengerti.
Dan aku akan selalu siap menunggu.